I. Pendahuluan.
Istilah kepemimpinan telah banyak
kita kenal, baik secara akademik maupun sosiologik. Jika dikumpulkan, ada
sedikitnya 60 definisi kepemimpinan dalam berbagai literatur. Dari sekian
banyak definisi yang ada pada intinya menganggap bahwa dalam kepemimpinan
selalu terdapat tiga unsur yang saling mempengaruhi: pertama, pemimpin yang menjalankan peran kepemimpinan; kedua, pengikut yaitu sekelompok orang
yang mengikuti; dan ketiga, adanya
situasi yang memungkinkan terjadinya proses interaksi antara pemimpin dan orang
yang dipimpinnya dalam rangka mencapai suatu tujuan. Adapun kepemimpinan
spiritual (spiritual leadership),
menurut Dr. Tobroni dalam “The Spiritual Leadership,…” (2005),
adalah kepemimpinan yang membawa dimensi keduniawian kepada dimensi keilahian.
Tuhan adalah pemimpin sejati yang mengilhami, mempengaruhi, melayani dan
menggerakkan hati nurani hamba-Nya dengan sangat bijaksana melalui pendekatan
etis dan keteladanan. Karena itu kepemimpinan spiritual disebut juga
kepemimpinan yang berdasarkan etika religius dan kecerdasan spiritual,
mendasarkan pada iman dan hati nurani.
Ada dua model kepemimpinan
spiritual yaitu kepemimpinan spiritual substantif dan kepemimpinan spiritual
instrumental. Pertama, kepemimpinan
spiritual substantif, yaitu kepemimpinan spiritual yang lahir dari penghayatan
spiritual sang pemimpin dan kedekatan pemimpin dengan realitas Ilahi dan dunia
Ruh. Model kepemimpinan spiritualnya muncul dengan sendirinya dan menyatu dalam
kepribadian dan perilaku kesehariannya dan karena itu bersifat tetap. Kedua, kepemimpinan spiritual
instrumental, yaitu kepemimpinan spiritual yang dipelajari dan kemudian
dijadikan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan spiritualnya muncul karena
tuntutan eksternal dan menjadi alat atau media untuk mengefekifkan perilaku
kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan spiritual instrumental bersifat tidak abadi
dan sekiranya konteks kepemimpinannya berubah, maka gaya kepemimpinannya bisa jadi
berubah pula. Gaya kepemimpinan ini bisa juga muncul sebagai salah satu cara
untuk mengatasi permasalahan baik permasalahan internal sang pemimpin itu
sendiri maupun permasalahan eksternal.
Gaya kepemimpinan spiritual tidak hanya cocok diterapkan pada nobel industry (industri pengemban misi mulia), seperti lembaga-lembaga sosial non profit: sekolah, rumah sakit, masjid, LSM, ormas, dsb., tetapi juga cocok untuk diterapkan di lembaga-lembaga bisnis. Belakangan ini banyak pakar menulis, bahwa aspek spiritual menjadi penyumbang terbesar keberhasilan seseorang dalam hidupnya, termasuk di dalamnya kecerdasan spiritual (SQ), yang menurut Danah Zohar dan Ian Marshall (SQ: Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence, 2000), memiliki andil 80 % dalam kesuksesan karir seseorang; dan kepemimpinan spiritual, yang menurut hasil penelitian Ian Percy (Going Deep: Exploring Spirituality in Life and Leadership, 2003), para direktur dan Chief of Excutive Officer (CEO) yang efektif dalam hidup dan kepemimpinannya memiliki spiritualitas yang tinggi dan menerapkan gaya kepemimpinan spiritual. Gaya kepemimpinan spiritual dalam membangun budaya organisasi dapat dilakukan dengan empat langkah: (1) niat yang suci, yaitu membangun kualitas batin yang prima dalam memimpin. Dengan kualitas batin yang prima, komunitas organisasi akan memiliki perhatian penuh dan istiqomah dalam berkhidmat pada tugas masing-masing. (2) mengembangkan budaya kualitas dengan cara membangun keyakinan inti (core believe) dan nilai inti (core values) kepada komunitas organisasi bahwa hidup dan kerja hakekatnya adalah idadah kepada Allah, maka harus dilakukan dengan sebaik-baiknya . (3) Mengembangkan persaudaraan sesama anggota komunitas, sehingga kerjasama, sinergi antar individu dan kelompok/unit dalam organisasi dapat tercipta untuk memberdayakan potensi dan kekuatan secara maksimal. (4) mengembangkan perilaku etis dalam bekerja melalui pembudayaan rasa syukur dan sabar dalam mengemban amanah. Untuk mengefektifkan proses organisasi dapat dilakukan dengan pendekatan etis, pemakai gaya kepemimpinan spiritual harus menjadi: (1) murabbi (penggembala) dalam mengembangkan kepemimpinan dan tanggung jawab; (2) penjernih dan pengilham dalam proses komunikasi dan inovasi; (3) ta’mir (pemakmur) dalam mensejahterakan bawahannya; (4) enterpreneur dalam kiat-kiatnya mengembangkan usaha; dan (5) pemberdaya dalam mengembangkan kepemimpinan bagi bawahannya dan mengkader pemimpin baru yang lebih baik.
Gaya kepemimpinan spiritual tidak hanya cocok diterapkan pada nobel industry (industri pengemban misi mulia), seperti lembaga-lembaga sosial non profit: sekolah, rumah sakit, masjid, LSM, ormas, dsb., tetapi juga cocok untuk diterapkan di lembaga-lembaga bisnis. Belakangan ini banyak pakar menulis, bahwa aspek spiritual menjadi penyumbang terbesar keberhasilan seseorang dalam hidupnya, termasuk di dalamnya kecerdasan spiritual (SQ), yang menurut Danah Zohar dan Ian Marshall (SQ: Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence, 2000), memiliki andil 80 % dalam kesuksesan karir seseorang; dan kepemimpinan spiritual, yang menurut hasil penelitian Ian Percy (Going Deep: Exploring Spirituality in Life and Leadership, 2003), para direktur dan Chief of Excutive Officer (CEO) yang efektif dalam hidup dan kepemimpinannya memiliki spiritualitas yang tinggi dan menerapkan gaya kepemimpinan spiritual. Gaya kepemimpinan spiritual dalam membangun budaya organisasi dapat dilakukan dengan empat langkah: (1) niat yang suci, yaitu membangun kualitas batin yang prima dalam memimpin. Dengan kualitas batin yang prima, komunitas organisasi akan memiliki perhatian penuh dan istiqomah dalam berkhidmat pada tugas masing-masing. (2) mengembangkan budaya kualitas dengan cara membangun keyakinan inti (core believe) dan nilai inti (core values) kepada komunitas organisasi bahwa hidup dan kerja hakekatnya adalah idadah kepada Allah, maka harus dilakukan dengan sebaik-baiknya . (3) Mengembangkan persaudaraan sesama anggota komunitas, sehingga kerjasama, sinergi antar individu dan kelompok/unit dalam organisasi dapat tercipta untuk memberdayakan potensi dan kekuatan secara maksimal. (4) mengembangkan perilaku etis dalam bekerja melalui pembudayaan rasa syukur dan sabar dalam mengemban amanah. Untuk mengefektifkan proses organisasi dapat dilakukan dengan pendekatan etis, pemakai gaya kepemimpinan spiritual harus menjadi: (1) murabbi (penggembala) dalam mengembangkan kepemimpinan dan tanggung jawab; (2) penjernih dan pengilham dalam proses komunikasi dan inovasi; (3) ta’mir (pemakmur) dalam mensejahterakan bawahannya; (4) enterpreneur dalam kiat-kiatnya mengembangkan usaha; dan (5) pemberdaya dalam mengembangkan kepemimpinan bagi bawahannya dan mengkader pemimpin baru yang lebih baik.
Gaya kepemimpinan spiritual tidak
apriori dan menolak gaya kepemimpinan lainnya seperti kepemimpinan
transaksional dan kepemimpinan transformasional, melainkan bersifat
menyempurnakan. Penyempurnaan itu terutama atas tiga hal: pertama, landasan epistemologi (teori ilmiah) kepemimpinan
bersumber dari nilai-nilai etis (etika riligius) yang diderivasi dari
nilai-nilai ketuhanan. Dengan kata lain, kepemimpinan spiritual adalah
kepemimpinan dalam nama Allah (bismillah). Maka rujukan etik sebagai landasan
perilaku kepemimpinannya bersumber dari sifat-sifat Allah, seperti Ar-Rahman
(Maha Pengasih), Ar-Rahim (Maha Penyayang), maka seorang pemimpin harus
menebarkan sifat kasih dan sayang kepada bawahannya, dst. Kedua, landasan ontologis (hakekat apa yang dikaji) adalah bahwa
kepemimpinan itu amanah dari Allah dan akan dipertanggung jawabkan di
hadapan-Nya kelak. Dan ketiga,
landasan aksiologis (segi kemanfaatan) adalah bahwa kepemimpinan itu untuk kesejahteraan
dengan kekuasaan, memberdayakan (empowering)
umat yang dipimpin, mencerahkan pikiran, membersihkan hati, pemenangan hati
nurani, dan pembebasan jiwa menuju
kehidupan yang lebih baik.
II.
Menjadi
Pemimpin Kristen
John Stott mengatakan bahwa dunia
masa kini ditandai oleh kelangkaan pemimpin gereja yang berkualitas. Kita
dihadapkan kepada problema-problema yang berat. Banyak orang yang
memperingatkan akan bahaya yang bakal menimpa dunia, terutama umat Kristen,
tetapi hanya sedikit orang yang menawarkan cara-cara penangkalannya.
Ketrampilan dan pengetahuan kita berlebihan, tetapi kurang dalam hikmat dan
kearifan. Dengan meminjam metafora Tuhan Yesus, kita ini bagaikan “kawanan
domba tanpa gembala” sementara para pemimpin seringkali tampil seperti “si buta
yang memimpin orang buta”.
Umat Tuhan sedang mengalami
kekurangan pemimpin yang berkualitas gembala seperti yang ada pada diri
Kristus. Kurangnya kepemimpinan diantara orang-orang Kristen adalah krisis yang
paling gawat dari semua. Pengaruh kesalehan masyarakat Kristenlah yang menahan
lajunya kuasa kejahatan di kota-kota dan bangsa-bangsa. Kurangnya para pemimpin
Kristen yang rohani, efektif dan kuat sangat melemahkan kesanggupan kita untuk
bertahan melawan kekuatan si jahat.
Ketika berbicara tentang asal mula
pemimpin biasanya selalu berkiblat pada tiga pandangan. Ada yang mengatakan
pemimpin itu dilahirkan; ada juga yang mengemukakan teori bahwa pemimpin itu
dibentuk dan teori ketiga (Great event theory) yang mengatakan bahwa
pemimpin itu terbentuk oleh situasi dan kondisi khusus yang menekan, namun dari
tekanan masalah itu akan keluar kualitas kepemimpinan seseorang. Saya percaya,
pemimpin ada yang dilahirkan dengan bakat luar biasa. Namun pemimpin yang
efektif adalah orang yang bersedia digembleng dan dilatih Tuhan melalui berbagai
proses kehidupan maupun pembelajaran.
Shakespeare pernah mengatakan, “Ada
yang besar karena dilahirkan besar, ada yang besar karena usaha sendiri, tapi
ada juga yang besar karena dipaksa oleh keadaan”. Buku-buku manajemen selalu
berbicara tentang kualitas dasar pemimpin yang alami, artinya tentang pria dan
wanita yang memiliki intelektual, watak dan kepribadian yang kuat sebagai
bawaan. Dan berkaitan dengan kepemimpinan Kristiani, dapat ditambahkan “suatu
perpaduan antara kualitas alami dan kualitas spiritual,” atau dengan kata lain kepemimpinan
Kristen adalah perpaduan antara bakat alami dan pemberian spiritual. Tidak
cukup sampai disitu, kepemimpinan yang potensial harus dipupuk dan
dikembangkan.
Dalam mengelola gereja kerap kali
mendapat kritikan; di satu sisi gereja dikelola sebagaimana maunya pendeta.
Karena disebut gereja tidak boleh dikelola dengan manajeman murni. Padahal, di
sisi lain, dalam konteks keberadaannya di muka bumi ini, gereja sebagai bagian
dari organisasi di dunia, membutuhkan manajemen untuk mendukung pelayanan. Rancangan
gagal kalau tidak ada pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasehat banyak ”
(Amsal 15:22). Manajemen dalam kaitan ini dapat diartikan sebagai “suatu proses
kepemimpinan yang diwujudkan dalam satu sistem kerja terpadu yang olehnya
pemimpin dapat menggunakan upaya kinerja sinergis (bekerja bersama dan bekerja
melalui bawahan) guna mencapai tujuan yang telah dicanangkan.
Pendeta Dr Yakob Tomatala, seorang
teolog ahli manajemen mengatakan,
memanajemeni bagi seorang pemimpin berarti menjalankan proses menajemen,
sehingga ia haruslah piawai mengkoordinasi, membuat perencanaan strategis,
mengorganisir tugas dan menempatkan orang yang pas, dan melaksanakan upaya
memimpin.
A. Kapabilitas Kepemimpinan Kristen
Seorang pemimpin perlu memahami konsep kepemimpinan Kristen
secara definitif, agar kepemimpinan menjadi lebih profesional dan spiritual.
James MacGregor Burns mengatakan, "Kepemimpinan adalah salah satu fenomena
yang paling banyak diamati orang dan paling sedikit dipahami di dunia ini"
[1]. Vance Packed mengatakan, "Kepemimpinan adalah [cara untuk] membuat
orang lain untuk melakukan sesuatu yang menurut Anda perlu dilakukan" [2].
Sementara
itu Oswald Sanders mengatakan, "Kepemimpinan adalah pengaruh, kemampuan
seseorang untuk memengaruhi" [3], dan Kenneth O. Gangel mengatakan,
"Kepemimpinan adalah tindakan seseorang anggota kelompok yang memunyai
kualitas, karakter, dan kemampuan tertentu yang pada suatu waktu tertentu, akan
berhasil mengubah tingkah laku kelompoknya menuju sasaran-sasaran yang dapat
diterima bersama" [4].
Walaupun definisi-definisi tersebut menjelaskan dasar-dasar
pengertian tentang kepemimpinan secara umum, namun belum menyentuh pengertian
mengenai kepemimpinan Kristen. Ada beberapa definisi yang lebih spesifik yang
menekankan pengertian kepemimpinan Kristen, misalnya George Barna mengatakan,
"Pemimpin Kristen -- sebagai seseorang yang dipanggil Tuhan untuk memimpin
dengan karakter seperti Kristus dan memotivasi secara efektif -- mengerahkan sumber
daya dan mengarahkan orang-orang ke penggenapan visi bersama dari Allah"
[5]. Robert Clinton mengatakan, "Tugas utama pemimpin adalah memengaruhi
umat Allah untuk melaksanakan rencana Allah" [6]. Sementara itu, Henry dan
Richard Blackaby mengatakan, "Kepemimpinan rohani adalah menggerakkan
orang-orang berdasarkan agenda Allah" [7].
Beberapa definisi di atas memberikan paradigma yang benar
antara prinsip kepemimpinan umum dan prinsip kepemimpinan spiritual.
Kepemimpinan Kristen tidak identik dengan seseorang, yang secara langsung dapat
mengerjakan rencana Allah. Ia bisa ditunggangi motivasi dan ambisi pribadi,
kecuali jika ia memahami dan menerapkan definisi-definisi ini secara
komprehensif dan konsisten [8].
Perbedaan antara rumusan kepemimpinan umum dan kepemimpinan
Kristen, bukan terletak pada metode, jabatan, atau kedudukan, melainkan pada
panggilan, nilai, dan filosofinya yaitu kepemimpinan Kristen mencapai tingkat
kepemimpinan yang lebih tinggi demi melaksanakan rencana Allah berdasarkan
agenda Allah [9].
Pertama, kapabilitas kepemimpinan.
Kepemimpinan berkaitan dengan pengetahuan, kompetensi, kapabilitas, dan pengelolaan
sebuah pelayanan. T.Engstrom dan E.Dayton menjelaskan bahwa pemimpin harus
memunyai kapabilitas yang memadai di bidang mereka, dan cakap secara teknis
untuk membuktikan tingkat kemampuannya [10]. Kemampuan atau keterampilan
kepemimpinan (leadership skill)
merupakan kekuatan untuk memengaruhi orang-orang yang dipimpinnya [11]. Banyak
perusahaan-perusahaan besar yang sukses, berani membayar dan memakai
orang-orang yang terampil atau orang yang memiliki kapabilitas tinggi. Andrew
Carnegie, pemilik perusahaan pabrik baja yang terbesar di Amerika, mengakui
bahwa pekerjaannya pada mulanya serabutan, namun setelah ia berani membayar 1
juta dolar setahun kepada Charles Schwab yang memiliki kapabilitas tinggi,
akhirnya pabriknya mengalami sukses besar [12].
Dari penelitian Charles Garfield secara intensif kepada
orang-orang yang berprestasi puncak, baik dalam bidang olahraga, ilmiah, maupun
bisnis, kebanyakan mereka memunyai kemampuan visualisasi, memiliki fokus pada
sasaran, dan proaktif dalam bidangnya [13]. Pimpinan merupakan tumpuan dari
sebuah organisasi dan pengikutnya, dan berhasil atau tidaknya kepemimpinan
seseorang, sangat bergantung pada kelebihan kemampuan/kapabilitas yang ia
miliki. Kelebihan dalam menggunakan segala ilmu organisasi, mendayagunakan
sumber daya dengan maksimal, serta dalam pengambilan keputusan yang cepat dan
tepat [14].
Kepemimpinan yang berhasil adalah kepemimpinan yang
mengoptimalkan seluruh kemampuan atau kapabilitasnya, untuk memberikan pengaruh
yang konstruktif kepada orang lain dalam melakukan satu usaha mencapai sasaran
yang sudah direncanakan [15]. Karena itu, korelasi antara kepemimpinan dan
kapabilitas tidak boleh dianggap remeh. Tanpa kedua unsur tersebut, maka
organisasi tidak akan menjadi efektif. Pemimpin harus meyakinkan dirinya dan
orang lain bahwa ia memiliki kapabilitas memimpin, memengaruhi, mengendalikan,
dan mengarahkan orang yang dipimpinnya [16].
Kedua, kemampuan berorganisasi.
Kemampuan memimpin harus disertai dengan pemahaman dan penguasaan organisasi
yang memadai [17]. Peter M. Sange dan Art Klener mengatakan, "Seorang
pemimpin harus terus-menerus berusaha mengembangkan kemampuan melalui peningkatan
pemahaman dan pengetahuan organisasinya untuk memperbaiki cara kerja, agar
mampu mencapai organisasi secara maksimal" [18]. Esensinya adalah agar
pemimpin dapat menciptakan kinerja yang efektif sesuai tugas, wewenang, dan
tanggung jawab setiap individu untuk mencapai maksud bersama. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih, vakum, kacau, atau tidak
terarah, sebaliknya dapat mengoordinasi setiap potensi secara efisien ke arah
satu titik [19], sehingga pekerjaan tidak tertumpuk di satu tangan, melainkan
melalui pengorganisasian tercipta spesifikasi dan profesionalisme yang
menguntungkan organisasinya.
Pada dasarnya pengertian organisasi dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu organisasi dalam arti statis dan organisasi dinamis [20].
Organisasi statis (tidak bergerak/diam) adalah organisasi yang dipandang
sebagai jaringan dari hubungan kerja yang bersifat formal, seperti yang
tergambar dalam suatu bagan dengan mempergunakan kotak-kotak yang beraneka
ragam [21]. Bagan struktur organisasi ada banyak macam dan jenjang. Bentuk dan
jenjang apa pun, posisi pimpinan selalu berada paling atas, sedangkan kotak
semakin kecil, jenjang posisinya semakin rendah.
Kotak-kotak tersebut memberikan gambaran-gambaran tentang
kedudukan atau jabatan yang harus di isi oleh orang-orang yang memenuhi
persyaratan sesuai dengan fungsi masing-masing. Melalui bentuk organisasi ini
dapat diketahui hierarki kedudukan atau jabatan, garis komando, wewenang, dan
tanggung jawab [22]. Sedangkan organisasi dinamis adalah sebuah organisasi yang
hidup dan organisme yang dinamis. Tidak hanya di lihat dari segi bentuk dan
wujudnya, tetapi juga dari segi isinya, yaitu menyangkut sekelompok orang
melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, organisasi dinamis
menyoroti unsur manusia yang ada di dalamnya karena manusia merupakan unsur
terpenting dari seluruh unsur organisasi, dan hanya manusia yang memiliki sifat
kedinamisan.
B. Kehidupan Spiritual dalam Kepemimpinan Kristiani
Semua orang kristen sesungguhnya memerlukan 'makanan dan
perawatan'yang utuh dan menyeluruh atau holistik. Makanan dan perawatan jasmani
dan rohani, secara material maupun spiritual. Para pemimpin kristen yaitu para
pendeta, penatua,guru sekolah minggu, pengurus komisi, kelompok kerja dan semua
aktifis bertugas untuk memastikan bahwa makanan dan perawatan yang diperlukan
oleh jemaat Kristus itu terpenuhi, sehingga jemaat yang adalah domba-domba
Kristus terpelihara. Untuk tugas tersebut, maka para pemimpin kristen harus
merasa terpenuhi makanan dan perawatannya sendiri. Jika gembala tidak diberi
makan seperti halnya domba-domba, maka mereka akan kelaparan, kehausan,
kelelahan dan sakit. Namun bahayanya bukan hanya bagi dirinya sendiri. Apabila
kelaparannya, kelelahannya dan luka-lukanya tidak diatasi, maka si gembala bisa
jadi akan melakukan tindakan yang tidak ia sadari yang membahayakan orang-orang
yang digembalakannya. Karena para pemimpin gereja adalah pemimpin
spiritual,dalam arti bahwa setiap aktifitasnya harus dilandasi dan digerakkan
oleh dorongan spiritual, maka pembiaan ini akan difokuskan pada kebutuhan
spiritual para gembala dan bagaimana memenuhinya.
◘ Kekeringan Spiritual.
Persoalan besar para pemimpin kristiani adalah persoalan
kekeringan spiritual. Orang-orang yang kekeringan spiritual ini adalah orang-orang
yang tidak menemukan alasan-alasan spiritual mengapa ia harus melakukan setiap
bagian dalam pelayanannya. Kekeringan spiritual ini bisa membuat seseorang
menjadi loyo atau ogah-ogahan. Ia tidak memiliki energi yang membuatnya
berapi-api dan penuh semangat melakukan bagiannya. Atau, mereka mungkin
melakukan banyak hal, namun dirinya merasakan bahwa apa yang dikakukannya itu
kosong dan hampa. Pelayanan menjadi formal, rutin, kaku , dingin dan tidak
melahirkan pertumbuhan, kedalaman dan kehangatan. Tidak ada vitalitas, yang ada
adalah rutinitas yang membosankan dan membebani serta kehilangan makna. Flora
Slosson menggambarkan kondisi kekeringan spiritual sebagai hubungan yang
menjadi kering, seperti hubungan pokok anggur dan ranting-ranting yang mulai
kering.
◘ Inti Spiritualitas Kristiani.
Perjumpaan dengan Kristus yang bangkit merupakan jantung atau
inti spiritualitas Kristiani. Kristus yang bangkit itulah Kristus yang
menjumpai setiap murid-Nya. Perjumpaan dengan Kristus yang bangkit itulah yang
membebaskan mereka dari rasa bersalah, membalut luka-luka hati mereka yang
kehilangan, memulihkan harapan , meneguhkan keragu-raguan dan membangkitkan
keberanian mereka yang ketakutan.
Kalau kita meneliti Model perjumpaan Kristus, kita menemukan
model perjumpaan yang sangat personal. Kisah-kisah perjumpaan Tuhan Yesus
menunjukkan bagaimana Ia hadir, memandang langsung ke setiap orang seolah dia
adalah satu-satunya yang hadir sekalipun ia berada ditengah keramaian. Apakah
Yesus bertemu seorang imam, seorang anak-anak, seorang pezinah, seorang
pemungut cukai, seorang nelayan, seorang yang sakit kusta atau seorang musuh,
Tuhan Yesus sungguh hadir sebagai pribadi. Yesus pun memandang setiap orang
yang dijumpainya sebagai pribadi, tidak lebih dan tidak kurang. Hubungan yang
dibangun sungguh-sungguh hubungan Aku dan Engkau. Tuhan mungkin lebih daripada
pribadi namun Tuhan Yesus tidak mungkin kurang dari pribadi.
Kita dapat menjadi lebih sensitif atau peka menanggapi
kehadiran Kristus melalui banyak cara. Kehidupan doa yang teratur atau bersaat
teduh dimana kita menarik diri dan mencoba menghayati kehadiran Kristus melalui
setiap hal yang sedang kita hadapi. Mengapa harus belajar menghayati kehadiran
Kristus ? Karena Allah di dalam Kristus adalah Allah yang hadir dimana-mana, Ia
turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. Hakekat unik
dari kekristenan tumbuh dalam perjumpaan dengan hati Allah melalui Yesus
Kristus.
Ada
tiga pola model kekristenan.
- Mengganggap kristen adalah agama tentang Yesus. Model ini mengexternalisasikan Yesus. Yesus ditempatkan diluar, semacam superman, seorang tokoh sempurna di luar sana yang kepadaNya kita tunduk. Namun model ini menggiring kita pada sikap ketaatan tanpa banyak perubahan batin.
- Model agama dari Yesus. Model ini menempatkan Yesus sebagai saudara tua yang ramah, seorang guru atau pembimbing. model ini membangun ketaatan sebagai usaha meniru atau mengikuti ajaran tetapi tidak memiliki hubungan personal dengan Yesus.
- Kekristenan adalah agama melalui Yesus. Pola ini menawarkan kepada kita ikatan yang hidup dengan Yesus; yang melaluiNya kita mengalami Allah, diri kita dan orang lain. Melalui Yesus kita mengalami Allah yang mendalam dan luar biasa. Tanpa hubungan pribadi orang percaya dengan Kristus yang hidup, kekristenan mungkin hanya akan menjadi iman atas gagasan dan cita-cita luhur namun kehilangan angin, api, garam dan raginya. Untuk mengalami kepenuhan kebutuhan spiritual, kita harus selalu berusaha memangun hubungan pribadi dengan Kristus ditengah-tengah kehidupan pelayanan kita.
◘ Teladan Kepemimpinan Tuhan Yesus
& rasul Paulus
Yesus menunjukkan teladan kepemimpinan
dengan jalan menjadi panutan, memberikan teladan kehidupan ketimbang
memberikan perintah dan aturan-aturan yang memaksa. Ia senantiasa menjadikan
diri dan kehidupan-Nya sebagai teladan moralitas. Tidak ada kesalahan
maupun kejahatan di dalam hidup-Nya. Hidup-Nya transparan, semua orang
dapat menilai dan menganalisa diri-Nya. Kepemimpinan yang ditunjukkan Yesus
juga bukan hanya sekedar melalui kata-kata, namun juga disertai dengan hikmat
dan wibawa ilahi. Hal inilah yang harus diperhatikan setiap orang yang
ingin meniru teladan kepemimpinan Yesus. Menjadi seorang pemimpin, baik dalam
kehidupan diri sendiri, keluarga, masyarakat, gereja dan lingkungan lainnya
dimana kita berada, harus memiliki kuasa, hikmat dan penyertaan Tuhan.
Dengan demikian maka akan dapat mencapai kesuksesan didalam memimpin.
Salah satu peranan utama dari
seorang pemimpin adalah menunjukkan teladan yang baik dan kemudian melatih
orang lain untuk mengikutinya. Paulus adalah seorang pemimpin besar dari
gereja Tuhan di abad pertama. Dalam kitab 1 Korintus 11:1 ia menulis, “Jadilah
pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.” Ia berhasil memultiplikasikan
kepemimpinannya dengan mencetak pemimpin-pemimpin baru yang handal. Ia berhasil
mendidik Timotius menjadi pemimpin dan gembala yang handal. Timotius pun
kemudian menghasilkan pemimpin-pemimpin baru di dalam gereja yang
digembalakannya.
◘ Multiplikasi Pemimpin
Pertumbuhan dan perluasan
kekeristenan terjadi sesuai dengan tersedianya para pemimpin yang berhasil
guna. Myron Rush seorang pakar kepemimpinan Kristen terkemuka
menceritakan pengalaman seorang rekan gembalanya.
“Ted Grant ialah seorang
gembala jemaat dari sebuah gereja besar, dinamis dan berkembang pesat di
barat-daya Amerika Serikat. Namun ketika saya untuk pertama kalinya menjumpai
Ted beberapa tahun lalu, gerejanya menghadapi berbagai masalah dan bergumul
untuk mempertahankan kehadiran sekitar dua ratus jemaat pada kebaktian hari
Minggu pagi. Gerejanya juga terlibat utang yang besar. Pertama kali saya
bertemu Ted pada waktu seminar manajemen yang saya selenggarakan untuk para gembala
jemaat dan pemimpin gereja di daerahnya.
Pada waktu itu Ted adalah seorang gembala sidang yang sedang mengalami frustasi.
Karena ia merasa saya seorang luar yang dapat dipercayainya, ia menumpahkan isi
hatinya kepada saya mengenai masalah
untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin
yang memenuhi syarat di dalam gerejanya. Ia mengatakan kepada saya bahwa
ia mengalami kesukaran menerima calon-calon baru untuk memimpin gereja cabang,
pimpinan departemen, anggota dewan pengurus/majelis, dan jabatan-jabatan puncak
lainnya di dalam gerejanya. Selama percakapan berlangsung Ted mengatakan
‘Tampaknya saya tak dapat menemukan seseorang yang ingin berbuat sesuatu
kecuali hanya duduk di kursi gereja dan menonton selagi beberapa orang dari
kami melaksanakan seluruh pekerjaan.Tidaklah mengherankan bila kita mempunyai
masalah. Tidaklah mungkin untuk membina sebuah gereja yang kuat tanpa adanya
para pemimpin’.
Tahun lalu saya mendapat kehormatan
untuk mengunjungi gereja yang dipimpin oleh Ted. Gereja itu sungguh telah jauh
berbeda dari yang telah disebutkannya beberapa tahun sebelumnya. Mereka baru
saja menyelesaikan tempat kebaktian yang baru dan merencanakan sebuah bangunan
untuk pendidikan. Lebih dari 3000 orang menghadiri dua kebaktian pagi setiap
hari Minggu. Dan departemen Misi Penginjilan mempunyai anggaran hampir 1 juta
dollar AS. Setelah kebaktian berakhir saya mempunyai kesempatan untuk
berbincang-bincang lama dengan Ted dan menanyakan kunci keberhasilan
pertumbuhan gerejanya itu.
Ia mengatakan bahwa sejak perjumpaan
dengan saya ia mulai mengadakan program pelatihan
kepemimpinan di gereja. Ia dan timnya mengajar orang-orang cara untuk
menjadi pemimpin sebelum mengharapkan mereka mencalonkan diri dengan sukarela
untuk memegang peranan sebagai pemimpin. Ted menjelaskan bahwa acara latihan
kepemimpinan telah mencapai sesuatu yang oleh kotbah bertahun-tahun gagal untuk
diperoleh. ‘Begitu kami mulai melatih anggota-anggota gereja kami tentang cara
memimpin, cara mengajar dan cara mereproduksi diri mereka pada orang lain, maka
kami tidak mempunyai masalah lagi untuk menemukan orang-orang yang memenuhi
syarat kepemimpinan yang diperlukan oleh gereja. Sebenarnya kami telah melatih
sedemikian banyak pemimpin dalam gereja kami sehingga kami telah mulai
mendirikan sebuah gereja pendamping yang baru demi mempekerjakan semua tenaga
pemimpin yang berlebihan itu’.
Mendengarkan pembicaraan Ted pada
hari itu mengingatkan saya pada pentingnya peranan para pemimpin dalam
keberhasilan dari organisasi apapun. Tanpa kepemimpinan yang tepat, maka
gereja Ted bergumul untuk mempertahankan kelanjutan hidupnya, tetapi begitu
mereka mulai membina para pemimpin yang efektif atau berhasil-guna maka
gerejanya menjadi sebuah organisasi yang sangat berhasil. Melatih para pemimpin
yang berhasil adalah rahasia keberhasilan mereka.”
◘ Kualifikasi Pemimpin
Dalam konsep kepemimpinan Kristiani,
ada beberapa faktor utama yang menentukan keberhasilan seorang pemimpin.
Faktor-faktor itu adalah:
- Visi (sense of mission)
“Bila tidak ada wahyu, menjadi
liarlah rakyat,” demikianlah dikatakan dalam Amsal 29:18. Visi adalah tujuan,
sasaran, goal, arah, wahyu, mimpi yang hendak dicapai. John Stott mengatakan
bahwa visi adalah suatu ihwal melihat, mendapat persepsi tentang sesuatu yang
imajinatif, yang memadu pemahaman yang mendasar tentang situasi masa kini
dengan pandangan yang menjangkau jauh ke depan.
Musa merupakan salah satu pemimpin
besar yang mengerti benar mengenai visi. Ia berjuang keras memimpin bangsanya
melawan penindasan Mesir, mengarungi padang gurun selama puluhan tahun, karena
ia mendapat visi yang jelas tentang “Tanah Perjanjian”.
- Pengetahuan dan keterampilan (knowledge-skill)
Visi harus dibarengi dengan
pengetahuan yang cukup dan keterampilan. Tidak cukup bagi Musa untuk memimpikan
suatu negeri yang berlimpah-limpah madu dan susunya. Ia berusaha mewujudkannya.
Ia menghimpun, menyatukan dan mengatur orang Israel menjadi suatu bangsa. Ia
menggunakan pengetahuan yang didapatnya selama pendidikan di Mesir dan
pengalaman bersama Tuhan untuk memimpin mereka melintasi gurun yang penuh
bahaya dan kesukaran sebelum akhirnya mencapai tanah Kanaan.
- Konsistensi (Consistency)
Konsistensi merupakan salah satu
kualitas kepemimpinan yang paling utama. Musa lagi-lagi merupakan teladan
konsistensi yang luar biasa. Berkali-kali dalam hidupnya bangsa Israel
“menggerutu” terhadap kepemimpinannya dan menentang wibawanya. Akan tetapi Musa
tidak menyerah. Ia tidak lupa akan panggilan Allah kepadanya untuk memimpin
bangsa itu. Ia konsisten melakukan perintah Tuhan untuk membawa bangsa itu
keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan.
Yohanes pembaptis, Daniel, Daud,
Yosua merupakan teladan kehidupan lainnya berkenaan dengan faktor konsistensi.
Kepemimpinan mereka tidak hanya “sukses” di awal saja, namun mereka konsisten
mempertahankan kualitas kerja dan kepemimpinannya sampai akhir. Konsistensi
berbicara tentang ketahanan, ketekunan dan fokus yang tidak pernah berkurang
atau pudar dalam meraih tujuan kepemimpinan.
- Karakter dan Integritas (Character and Integrity)
Kepemimpinan Kristen merupakan
kepemimpinan yang berpusatkan Kristus. Tidak ada seorang manusiapun di muka
bumi ini yang akan mampu menjadi pemimpin Kristen yang handal bila ia tidak
lebih dulu berjumpa secara pribadi dengan Yesus dan menjadi ciptaan baru (II
Korintus 5:17). Ketika seorang menghendaki untuk menjadi pemimpin yang efektif,
ia harus bertumbuh secara karakter.
Lynn E. Samaan dan Dunnam, pakar
kepemimpinan mengatakan, “Pemimpin Kristen menerima kehidupan Kristus dengan
iman dan menerapkannya dalam komitmen, disiplin dan perilaku/perbuatan, dimana
kehidupannya setiap waktu mengungkapkan Kristus yang hidup di dalamnya sebagai
kesaksian kepada dunia.” Tujuan utama pengembangan karakter adalah “kualitas
hidup”. Yaitu kualitas hidup rohani yang berpusatkan Kristus. Kualitas hidup
ini dipengaruhi oleh pekerjaan Roh Kudus dalam semua aspek dan peristiwa hidup
serta respon atau komitmen (sikap) terhadap peristiwa serta pengalaman hidup
tersebut. Buah Roh akan makin terpancar dalam kehidupan sementara buah daging
makin terkikis.
Salah satu karakter pemimpin Kristen
yang diinginkan Yesus terlihat dalam firman-Nya, “Kamu tahu bahwa mereka yang
disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan
besi…Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar diantara
kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu…Karena Anak Manusia juga datang bukan
untuk dilayani, melainkan untuk melayani…(Markus 10:42-45). Panggilan kita
adalah untuk melayani bukan untuk dilayani dan menguasai. Pemimpin harus
melayani dan memperhatikan kebutuhan bawahannya. Memberi kesejahteraan pada
mereka, sehingga bawahan akan bersemangat menopang pemimpinnya. Seperti Yesus
yang mencukupi kesejahteraan murid-murid-Nya dengan menunjuk bendahara untuk
mengelola keuangan. Pemimpin Kristen bukanlah pemimpin-penguasa, melainkan
pemimpin-hamba. Otoritas memimpin dilakukan bukan dengan kekuasaan melainkan
kasih, bukan kekerasan melainkan teladan, bukan paksaan melainkan persuasif.
Integritas berbicara tentang “apa
yang dikatakan sama dengan perbuatan”. Dengan kata lain, seorang pemimpin yang
sukses adalah seseorang yang kehidupannya “transparan”, luar dalam sama. Dia
tidak saja menjadi teladan dalam perkataan dan kepemimpinan, tetapi juga
melakukan dengan tepat semua yang dikatakannya.
Banyak kasus moralitas, korupsi dsb
terjadi karena para pemimpin gagal melakukan prinsip-prinsip yang diajarkannya.
Mereka hanya menjadi macan kertas atau macan panggung, namun ternyata ompong
dalam melakukan perkataannya.
C.
Kesimpulan
Umat membutuhkan pemimpin yang dapat
diteladani, dalam segala segi baik karakter, manajemen, pelayanan maupun mau
bekerja keras untuk memimpin orang-orang. Kepemimpinan Kristen bukanlah mau memerintah, akan tetapi
menjadi teladan hidup. Pemimpin
sukses adalah orang yang mampu mencetak pemimpin baru, dan bukannya iri atau
takut tersaingi bila bawahannya sukses.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin
yang memperhatikan bawahannya. Mencukupi kebutuhan hidupnya agar mereka dapat
berkonsentrasi melakukan tugas pelayanan yang dibebankan tanpa harus
dipusingkan akan persoalan makan, minum, pakai. Pantang menyerah, inovatif dan
terus mengembangkan diri merupakan kualitas yang harus diperhatikan juga.
Dengan demikian, akan membuat
pelayanan pemimpin itu semakin efektif dan berhasil mencapai visi yang ingin
diraihnya. Wujud serta kualitas pemimpin Kristen yang ideal, diharapkan
terlihat dalam kenyataan berikut: Memiliki karakter Kristus (Christlike),
memiliki pengetahuan yang komprehensif – kemampuan serta ketrampilan (knowledge-skill)
yang bersifat sosial (hubungan dengan orang) dan teknis (yang berhubungan
dengan kerja). Memiliki konsistensi dan integritas dalam hidup dan
kepemimpinannya, baik kepada kepada Allah, Gereja, pengikutnya maupun diri
pribadi dan dunia serta memiliki tujuan hidup yg jelas (sense of mission)
yang memberi motivasi dan dinamika bagi hidup dan pelayanannya.
Menjadi pemimpin yang baik
sesungguhnya dapat dipelajari. Mempelajari teknik kepemimpinan disertai hati
dan karakter Kristus akan menjadikan setiap kita pemimpin yang baik. Marilah
menjadikan dunia ini lebih baik, dengan menjadi orang-orang yang memberi
pengaruh positif kepada dunia.
REFLEKSI
Di dalam kepemimpinan spiritual ini, ada ajakan, dorongan,
himbauan, bagi orang lain untuk mencapai tingkat spiritual yang serupa. Dengan
tingkat spiritual itu, orang dapat melakukan hal-hal yang secara esensial
serupa dengan teladan yang diberikan oleh sang pemimpin, walau dalam konteks
yang berbeda.
Jabatan gerejawi atau tugas
kepemimpinan adalah terutama pemberian Tuhan, bukan “pencapaian” baik melalui
pendidikan formal maupun keahlian yang lahir dari pengalaman, walaupun semuanya
itu penting. Para pemimpin yang disebut di dalam Alkitab lebih menekankan peranan
“hati” ketimbang keahlian dan pengalaman. Pelayanan bukan keikutsertaan, bukan
pengalihan dari Yesus.
Inti dari pelayanan adalah; dasar
pelayanan adalah Karakter, Sifat pelayanan adalah Pengabdian. Motif pelayanan
adalah Kasih. Ukuran pelayanan adalah Pengorbanan. Kekuatan pelayanan adalah
Penyerahan diri. Hanya dengan demikian seorang pemimpin dapat memiliki visi dan
misi dari Yesus. Jika tidak, pemimpin hanyalah menciptakan visi dan misinya
sendiri.
Samuel adalah anak Elkana, seorang yang saleh dari bani
Efraim, dengan istrinya yang bernama Hana. Nama Samuel disebut sebanyak 134
kali dalam Alkitab, bisa ditemukan dalam 7 kitab: 1 Samuel, 1 dan 2 Tawarikh,
Mazmur, Yeremia, Kisah Para Rasul, dan surat Ibrani.
Alkitab mencatat Samuel sebagai hakim terakhir dan terbesar
dalam sejarah Israel (Kisah Para Rasul 13:20). Samuel juga merupakan yang
pertama di antara para nabi (Kisah Para Rasul 3:24). Pada zaman Perjanjian
Lama, ia dan Musa adalah dua pemimpin bangsa yang terbesar di mata Tuhan
(Yeremia 15:1).
Otoritas kepemimpinan dalam diri Samuel sebenarnya mulai
Tuhan nyatakan sejak dia masih muda. Tuhan memberinya pewahyuan yang
menyingkapkan kejatuhan imam Eli (1 Samuel 3:1-21). Meskipun semula sungkan,
akhirnya Samuel menyampaikan nubuatan itu kepada Eli (1 Samuel 3:18).
Kepemimpinan nabi Samuel terus berkembang dan semakin diakui banyak orang,
Alkitab mencatat: "Maka tahulah seluruh Israel dari Dan sampai Bersyeba,
bahwa kepada Samuel telah dipercayakan jabatan nabi Tuhan." (1 Samuel
3:20)
Dengan wibawa kepemimpinannya yang besar, Samuel menyerukan
tobat nasional. Samuel berbicara kepada seluruh kaum Israel: "Jika kamu
berbalik kepada Tuhan dengan segenap hati, maka jauhkanlah para allah asing dan
para Asytoret dari tengah-tengahmu dan tujukan hatimu kepada Tuhan dan
beribadahlah hanya kepada-Nya." (1 Samuel 7:3) Bangsa itu pun bertobat,
mereka menjauhkan berhala-berhala Baal dan Asytoret (1 Samuel 7:4).
Samuel adalah seorang pemimpin yang profesional; ia
menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Sebagai kepala urusan-urusan sekuler,
Samuel berkeliling negeri untuk mengadili seluruh rakyatnya (1 Samuel 7:16).
Samuel adalah pemimpin yang terbuka terhadap kritik. Ketika
rakyat Israel meragukan integritas anak-anak kandungnya, Samuel tidak mengelak
(1 Samuel 8:4-5). Samuel bukan tipe pemimpin yang terjerat nepotisme. Samuel
menampung aspirasi rakyat yang menghendaki raja baru. Ia pun sangat proaktif
dalam pergumulan pencarian pemimpin baru tersebut. Sebagai tokoh senior, Samuel
jugalah yang akhirnya menetapkan dan mengurapi raja baru tersebut, Saul -- dan
kemudian Daud.
Kehidupan
Doanya
Spirit doa dalam diri Samuel merupakan warisan dari ibunya.
Pada waktu itu Hana mandul, tidak bisa memunyai anak (1 Samuel 1:2, 5-6). Hana
berdoa dengan sungguh-sungguh, dan akhirnya setahun setelah doa itu, Tuhan
memberinya seorang anak yang hebat, Samuel. (1 Samuel 1:20).
Dalam penelitian psikologi, ditemukan fakta bahwa pertumbuhan
kejiwaan seseorang sudah dimulai sejak dia dalam kandungan ibunya. Kondisi
kejiwaan ibu juga menentukan pertumbuhan psikis sang bayi. Demikian juga secara
rohani, kehidupan rohani sang ibu akan mengalir dalam diri anak yang
dikandungnya. Yohanes Pembaptis misalnya, sudah dijamah Roh Kudus ketika ia
masih berada di dalam kandungan ibunya, Elizabet (Lukas 1:41).
Kehidupan doa Samuel juga terbina baik sejak masa
kanak-kanaknya. Setelah Samuel berhenti menyusu, pada usia 2 atau 3 tahun, Hana
membawanya ke Silo dan secara resmi menyerahkannya kepada imam Eli untuk
tinggal bersama dia di lingkungan Bait Suci (1 Samuel 1:24-28). Samuel menjadi
pelayan di hadapan Tuhan; ia masih anak-anak, yang tubuhnya berlilitkan baju
efod dari kain lenan (1 Samuel 2:18). Sejak belia, Samuel hidup dalam disiplin
rohani yang tinggi. Ia tinggal di dalam lingkungan orang-orang yang berdoa.
Pembentukan kehidupan rohani seorang pemimpin tidak terjadi
secara instan. Karena itu, kita perlu mendidik kaum muda dalam disiplin rohani
yang tinggi. Kelak, ketika mereka beranjak dewasa dan menjadi pemimpin,
kehidupan doa pribadinya akan sangat kuat. Tetapi, jika seseorang yang
kehidupan doanya lemah telah menjadi pemimpin dan menjadi sangat sibuk karena
status dan perannya itu, tidak akan mudah baginya untuk bertumbuh dalam
kehidupan doa. Bahkan kadang ia meremehkan doa, sebab pikirnya, tanpa doa pun
saya sudah menjadi pemimpin.
Kehidupan doa Samuel bersifat dinamis dan dialogis. Alkitab
tidak mencatat bagaimana ia mengemis dalam doanya, minta ini dan itu untuk
keperluan hidupnya. Alkitab justru mencatat bagaimana Tuhan berbicara kepadanya
sejak ia masih remaja (1 Samuel 3). Samuel disebut sebagai seorang pelihat yang
sering memperoleh penglihatan dari Tuhan (1 Samuel 9:9).
Di manakah Samuel-Samuel masa kini? Sekarang banyak orang
cerdas, cendekia, dan terlatih menjadi pemimpin sejak masa muda, tetapi masih
terlalu sedikit pemimpin Kristen yang memunyai kehidupan doa yang kuat.
Bersandar Pada Tuhan.
Ketika Samuel sudah tua, rakyat memintanya untuk memilihkan
seorang raja bagi mereka. Saat itu, Samuel harus memilih salah seorang dari
sekian banyak orang Israel untuk diangkat menjadi raja atas bangsa itu. Seorang
pemimpin akan selalu diperhadapkan dengan situasi harus memilih seseorang untuk
posisi tertentu. Seorang pendeta harus memilih pemimpin-pemimpin kelompok sel,
seorang direktur harus menunjuk manajer-manajer bawahannya, dan sebagainya.
Sebelum memilih seorang raja, Samuel mau menampung aspirasi
para tua-tua Israel (1 Samuel 8: 4-5). Keluh kesah mereka sebenarnya mengesalkan
hati Samuel, tetapi kemudian ia berdoa membawa persoalan ini kepada Tuhan (1
Samuel 8:6). Keinginan jemaat atau anak buah dan karyawan tidak jarang membuat
sang pemimpin menjadi kesal, apalagi jika mereka mengajukan permohonan dengan
emosional, misalnya dengan berdemo. Tetapi, seorang pemimpin Kristen harus
menjaga suasana hatinya, dan membawa setiap persoalan itu di dalam doa.
Samuel akhirnya menyetujui keinginan rakyatnya karena Tuhan
memberi rekomendasi. Kadang, seorang pemimpin Kristen menerima permintaan
bawahan karena takut atau karena alasan politis. Tetapi, keputusan Samuel
selalu berdasar pada pertimbangan dari Tuhan. Pun ketika memilih Saul, juga
atas dasar petunjuk Tuhan sendiri (1 Samuel 9:15-16). Ketika raja Saul
melakukan banyak kesalahan dan akhirnya Tuhan menolaknya, Samuel sempat
bersedih. Tetapi kemudian Tuhan berkata: "Berapa lama lagi engkau
berdukacita karena Saul?" (1 Samuel 16:1a) Tuhan, tidak senang jika kita
larut dalam kekecewaan, kepahitan, dan kesedihan karena orang pilihan kita
gagal. Dalam ayat itu, Tuhan menyuruh Samuel mengurapi Daud menjadi raja yang
baru. Pada waktu memilih Daud, Tuhan berbicara kepada Samuel agar jangan
terkecoh oleh penampilan fisik (1 Samuel 16:7). Inilah pentingnya doa, supaya
kita jangan salah memilih. Orang yang hebat secara fisik belum tentu dipilih
Tuhan. Tuhan tahu orang yang tepat dan yang sempurna bagi kita. Ikutilah
pimpinan Roh Kudus!
Akhirnya, Samuel mengambil tabung tanduk yang berisi minyak
itu dan mengurapi Daud di tengah-tengah saudara-saudaranya (1 Samuel 16:13a).
Artinya, orang-orang yang sudah kita pilih menurut hikmat Tuhan, harus kita
doakan agar ia memunyai otoritas untuk menjalankan pekerjaan baru yang
diembannya. Pemimpin Kristen perlu menaikkan doa impartasi urapan untuk anak
buah atau penerusnya.
Pemimpin
yang Mendengar
Salah satu ciri utama dari seorang pemimpin yang baik adalah
mendengarkan Allah. Jika kita hanya bergantung pada hikmat, kekuatan, wawasan,
atau tindakan kita, maka kita tidak akan mampu. Kita perlu firman Tuhan. Daud,
seperti yang bisa kita lihat dalam 1 Samuel, adalah seorang pemimpin yang
saleh, yang dengan gigih mencari dan menerima nasihat Allah untuk mengambil
keputusan penting dan terkadang hidupnya bergantung pada apa yang didengarnya
dari Allah.
Hal ini mungkin kedengarannya mudah. Namun jika ini
benar-benar mudah, mengapa kita mengabaikannya? Sesungguhnya kita sudah
mendapat pewahyuan dari Tuhan yang ditulis dalam bahasa kita, ditulis oleh
orang-orang yang digerakkan oleh Roh Kudus, dan celakalah kita jika kita tidak
mendengarkan firman Tuhan, baik di rumah, di gereja, maupun di tempat kerja
kita. Seberapa sering kita berkata, "Berbicaralah, Tuhan, sebab hamba-Mu
mendengar"?
Pemimpin
yang Menegur
Kita juga bisa belajar dari Samuel bahwa seorang pemimpin
yang saleh tidak takut mengatakan apa yang dia dengar. Keesokan harinya, Eli
bertanya kepada Samuel apa yang dikatakan Allah. Samuel, tentu saja tahu Eli
tidak akan suka mendengarkan kebenaran yang telah diterimanya. Tapi Eli
berpesan kepadanya, "Janganlah kausembunyikan kepadaku. Kiranya beginilah
Allah menghukum engkau, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika engkau
menyembunyikan sepatah katapun kepadaku dari apa yang disampaikan-Nya kepadamu
itu." (1 Samuel 3:17)
Samuel muda mengulang kembali firman Allah bagi Eli, dan
dengan kejadian itu ia pun memulai kariernya sebagai nabi yang menegur melalui
nubuatan. Selanjutnya, dia harus menghadapi bangsa Israel yang bersikukuh
meminta seorang raja duniawi: "Pada waktu itu kamu akan berteriak karena
rajamu yang kamu pilih itu, tetapi TUHAN tidak akan menjawab kamu pada waktu
itu" (1 Samuel 8:18). Dia juga akan menghadapi Raja Saul yang memberontak
yang melanggar perintah yang sudah jelas dari Allah: "Perbuatanmu itu
bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah TUHAN, Allahmu, ... Tetapi sekarang
kerajaanmu tidak akan tetap. TUHAN telah memilih seorang yang berkenan di
hati-Nya dan TUHAN telah menunjuk dia menjadi raja atas umat-Nya, karena engkau
tidak mengikuti apa yang diperintahkan TUHAN kepadamu.... TUHAN telah
mengoyakkan dari padamu jabatan raja atas Israel pada hari ini dan telah
memberikannya kepada orang lain yang lebih baik dari padamu." (1 Samuel
13:13-14; 15:28). Seni konfrontasi dengan mahir harus dikuasai oleh setiap
pemimpin.
Dukungan
Keluarga
Walaupun dalam menghadapi seseorang tentu saja membutuhkan
kewaspadaan -- mengingat bahwa pemimpin yang pemberang adalah suatu kecelaan
(Titus 1:7) -- ada kalanya menolak melawan dosa itu pun suatu dosa. Eli
bersalah atas pelanggaran ini, dan sedihnya, bahkan Samuel pun juga tidak
sepenuhnya bebas dari kesalahan ini. Standar Rasul Paulus dalam kepemimpinan
menyatakan bahwa anak-anak seorang pemimpin hendaknya "hidup beriman dan
tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh atau hidup tidak tertib."
(Titus 1:6)
Seorang pemimpin yang memiliki anak memiliki tanggung jawab
untuk menjadi ayah yang baik. Walaupun tidak ada jaminan khusus bahwa anak-anak
orang-orang Kristen secara otomatis akan diselamatkan, namun kita berhak
berharap bahwa seorang pemimpin yang saleh akan membesarkan anak-anaknya di
dalam "ajaran dan nasihat Tuhan" (Efesus 6:4). Samuel, sayangnya,
memunyai anak-anak yang "tidak hidup seperti ayahnya; mereka mengejar
laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan." (1 Samuel 8:3)
Perbuatan jahat yang merugikan ini memberi andil bagi keinginan bangsa Israel
untuk memiliki seorang raja: "Sebab itu berkumpullah semua tua-tua Israel;
mereka datang kepada Samuel di Rama dan berkata kepadanya: 'Engkau sudah tua
dan anak-anakmu tidak hidup seperti engkau; maka angkatlah sekarang seorang
raja atas kami untuk memerintah kami, seperti pada segala bangsa-bangsa
lain.'" (1 Samuel 8:4-5) Hal ini tidak otomatis membenarkan para tua-tua
Israel untuk menolak Allah dan memilih seorang raja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar